(NusantaraBaru) Medan – Insiden kekerasan terjadi pada Mei 2025, ketika AKBP Oloan Siahaan, seorang perwira menengah Kepolisian Republik Indonesia, menghadapi situasi tak seimbang saat berupaya membubarkan aksi tawuran di ruas Tol Belmera, Medan Belawan.
Peristiwa tersebut menjadi gambaran nyata dari kondisi “overmacht” — situasi di mana seorang aparat penegak hukum berada dalam posisi yang secara taktis dan jumlah tidak menguntungkan ketika menghadapi ancaman langsung.
Menurut laporan kepolisian, AKBP Oloan tengah melakukan patroli rutin ketika mendapati sekelompok remaja terlibat dalam bentrok fisik di jalan tol.
Upaya pembubaran justru berubah menjadi serangan balik terhadap sang perwira, ketika sekitar sepuluh orang menghadang dan menyerang mobil dinasnya dengan kelewang dan lemparan batu.
Meski telah melepaskan tiga tembakan peringatan, serangan justru meningkat.
Para pelaku menyalakan mercon dan terus menyerang, memaksa AKBP Oloan mengambil keputusan cepat dalam kondisi krisis: melepaskan tembakan ke arah kerumunan demi menyelamatkan diri dan mengendalikan situasi.
Dua remaja dilaporkan mengalami luka tembak — satu di bagian perut dan satu lagi di tangan — dan kini dirawat di RS Bhayangkara Medan.
AKBP Oloan segera menghubungi Wakapolres guna meminta dukungan tambahan.
Operasi penertiban pasca insiden mengamankan 20 orang yang diduga terlibat, dengan 14 di antaranya terbukti positif mengonsumsi narkoba jenis ganja.
Tindakan AKBP Oloan memicu beragam tanggapan.
Wakil Ketua DPRD Medan, Hadi Suhendra, menyatakan dukungannya atas respons tegas tersebut, menyebutnya sebagai langkah “perlu dan terukur” dalam menghadapi kekerasan jalanan yang meresahkan publik.
Namun, Polda Sumatera Utara tetap menonaktifkan AKBP Oloan dari jabatannya selama satu bulan, sebagai bagian dari proses pemeriksaan internal.
Dalam konteks hukum dan kepolisian, insiden ini menyoroti kompleksitas lapangan yang kerap kali menempatkan aparat dalam dilema antara mempertahankan protokol dan menjamin keselamatan diri.
“Overmacht” dalam kasus ini bukan sekadar terminologi hukum, tapi realitas taktis di lapangan yang menuntut respons cepat dalam tekanan ekstrem.
Kejadian ini memperkuat urgensi bagi institusi keamanan untuk mengevaluasi protokol intervensi di situasi berisiko tinggi, serta memberikan dukungan hukum dan psikologis bagi aparat yang menghadapi ancaman di luar kendali normal.