Jakarta, 27 September (NusantaraBaru) -Mantan Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Atal S. Depari, tidak menyangka kunjungannya ke kantor yang pernah ia pimpin selama lima tahun akan berujung pada larangan masuk.
Padahal, ia datang dengan niat sederhana—melepas rindu dengan suasana kantor PWI Pusat dan menghadiri acara Serikat Media Siber Indonesia (SMSI).
Namun, apa yang ia temui justru berbanding terbalik dengan harapannya.
Saya hanya ingin melihat suasana kantor dan sekretariat PWI, tapi dilarang masuk oleh Dadang Rahmat, ungkap Atal dengan nada kecewa, menahan perasaan yang bercampur aduk.
Rasa rindu pada tempat yang pernah menjadi pusat aktivitasnya berubah menjadi momen penuh kejutan saat tiba di lantai 4.
Pintu utama kantor yang dulu selalu ramai kini terkunci rapat, seolah menegaskan bahwa masa lalu dan masa kini telah terpisah dengan jelas.
Atal, yang tidak mau menyerah begitu saja, kemudian menuju ruang sekretariat. Namun, ruang itu juga terkunci.
Terkunci ruang utama, saya ke ruang sekretariat, yang ternyata juga sudah dikunci, tambahnya, menggambarkan betapa sulitnya ia mengakses tempat yang pernah menjadi pusat kepemimpinannya.
Di tengah kekecewaan, ada secercah harapan ketika seorang anggota sekretariat yang berada di dalam mengambil inisiatif untuk membuka pintu.
Meskipun hanya pintu kecil yang terbuka, setidaknya Atal masih bisa mengintip sekilas ruang yang penuh kenangan baginya.
Situasi semakin rumit ketika Dadang Rahmat mengungkapkan bahwa perintah menutup pintu datang langsung dari Sekretaris Jenderal PWI Pusat, Iqbal Irsad.
Bagi Atal, momen ini menjadi simbol pergeseran besar di PWI Pusat, di mana ia yang dulu berada di puncak kepemimpinan kini dihadapkan pada batasan yang membuatnya terasing dari tempat yang pernah ia kuasai.
Ketegangan semakin terasa dengan informasi bahwa penggantinya, Hendry Ch. Bangun, telah diberhentikan secara penuh dari keanggotaan PWI oleh Dewan Kehormatan PWI Pusat.
Keputusan tersebut diambil karena pelanggaran terhadap peraturan dasar dan peraturan rumah tangga (PD-PRT) organisasi wartawan tertua di Indonesia, menambah beban emosional yang sudah dirasakan Atal.
Peristiwa ini mencerminkan betapa dalamnya konflik internal yang sedang melanda PWI Pusat.
Kunjungan yang seharusnya penuh nostalgia berubah menjadi simbol nyata dari ketegangan yang masih membayangi organisasi besar ini.
Apa yang dialami Atal bukan sekadar larangan masuk, tetapi juga sebuah cerminan dari perubahan besar yang sedang terjadi di PWI Pusat, di mana masa lalu, kenangan, dan konflik kini saling bertabrakan. ***