Jakarta – Hattrick dalam dunia sepak bola merupakan prestasi gemilang seorang striker melesatkan gol tiga kali berturut-turut ke gawang lawan dalam satu pertandingan.
Sebut saja Cristiano Ronaldo, Leonel Mesi, dan Kilian Mbape adalah pesepak bola anyar kelas dunia yang teramat sering menciptakan hattrick dalam sebuah pertandingan dan berkali-kali membawa klub yang dibelanya menjuarai sebuah kompetisi.
Berbeda halnya ketika Hattrick itu terjadi di Dewan Pers selama tiga periode berturut-turut.
Para eks pejabat yang tidak pernah merasakan panasnya terik matahari di jalanan sebagai seorang reporter, dengan ‘genit’ dan ‘ambisius’ menyasar jabatan professional di bidang pers sebagai Ketua Dewan Pers.
pers nasional adalah para pimpinan berlabel konstituen Dewan Pers itu dengan bangganya menikmati buah reformasi pers dan pasrah, serta asik-asik aja dinahkodai pimpinan yang gak nyambung.
Gak pernah merasakan disebut abal-abal, dikriminalisasi, dimarjinalkan, dan didiskriminasi.
Media lokal dan nasional dibiarkan mengemis iklan dan menjual idealisme dan melegalkan ‘pelacuran pers’ lewat Kerjasama Publikasi dengan Pemerintah.
Padahal ada potensi belanja iklan yang bisa ditempatkan di media-media nasional dan lokal non media konglomerasi bernilai ratusan triliun rupiah.
Sementara Dewan Pers tutup mata membiarkan iklan komersil dikuasai dan dimonopoli kaum oligarki.
Tak heran praktek konglomerasi media makin subur dan powerfull mengontrol pemerintah dan mengobok-obok negeri dengan pemberitaan yang mengedepankan kepentingan industri dan rating ketimbang dampak buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sadarlah hai para pimpinan konstituen Dewan Pers illegal. Ribuan wartawan UKW dan non UKW, bahkan SKW setiap hari, “MAAF” masih menerima amplop dari narasumber alias ‘menjual idealisme’ gara-gara media tempat dia bekerja ‘hidup segan mati tak mau’.
Pengusaha media mainstream kaya raya, jadi konglomerat, tapi wartawan dan media lokal di level bawah saling sikut hanya demi meraup rupiah APBD dan APBN dari belanja publikasi.
Dewan Pers begitu bangga membuat Rekomendasi Media Terverifikasi dan Wartawan UKW yang berhak Kerjasama bekerjasama dengan pemerintah menggunakan dana APBD dan APBN.
Dewan Pers seharusnya paham bahwa hal itu adalah (maaf) praktek melegalkan ‘pelacuran pers’ media.
Sejatinya Kerjasama dengan Pemerintah harus melalui Perusahaan pihak ketiga atau Perusahaan agency lewat tender.
Dari situ Perusahaan agency pemenang tender ini yang bertanggunjawab menyalurkan anggaran publikasi media ke Jaringan Media lokal maupun nasional. Sehingga independensi media tetap terjaga.
Praktek yang berlaku saat ini justeru Dewan Pers sepertinya setuju alias melegalkan dengan membiarkan Perusahaan Pers langsung menerima bentuk Kerjasama publikasi media dengan Pemerintah tanpa melalui pihak ketiga.
Akibatnya, media lokal dan nasional tidak bisa menjalankan fungsi kontrol sosial pers terhadap pemerintah.
Karena jika hal itu dilakukan maka Pemerintah mengancam akan memutus kontrak Kerjasama.
Ini tentunya sangat merusak sistem pengawasan pers.
Jangan heran jika banyak Menteri, pejabat, kepala-kepala daerah ditangkap KPK, Jaksa, dan Polisi gara-gara kebablasan korupsi tanpa kontrol media. ***
Penulis: Heintje G. Mandagie, Ketua Umum Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI).